Kita ketahui bersama pada hari Rabu tanggal 2 September 2009 telah terjadi gempa bumi pada pukul 15.15 WIB yang berkekuatan 7,3 skala richter, pusat gempa terletak pada 142 km barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kedalaman 30 km. Gempa ini sempat diperkirakan berpotensi terjadinya tsunami karena pusat gempa berada dibawah permukaaan laut. Gempa tersebut tidak hanya menimpa Tasikmalaya tetapi juga beberapa daerah di Jawa Barat, kekuatan getaran gempa terasa hingga Jakarta sehingga membuat karyawan yang bekerja di gedung tinggi berlarian keluar untuk menyelamatkan diri.(www.sabili.co.id/gempa-Tasikmalaya).
Dengan adanya bencana gempa, ini menimbulkan dampak psikologis pada korban-korban gempa tersebut, terutama pada anak-anak yang kehilangan orang tuanya karena diusia mereka yang masih belia mereka sudah harus menerima kenyataan untuk kehilangan orang-orang terdekat mereka, padahal di usia mereka saat ini mereka sedang membutuhkan kasih sayang dari orang-orang terdekat mereka. Bayangkan jika anda berada di posisi mereka.
Seperti yang di alami oleh pada Hermawan (15), walaupun ia bisa dikatakan bukan anak-anak lagi tetapi ia juga mengalami dampak psikologis dari gempa. Karena ia kehilangan seluruh anggota keluarganya, dia kehilangan ibu, nenek, tiga adiknya, dan tiga keponakannya. Mereka tertimbun longsoran dari bukit di belakang rumahya. Padahal Hermawan dan keluarganya baru saja bisa merasakan kembali kebersamaan sebuah keluarga karena sebelumnya kedua orang tua Hermawan pergi ke Jakarta untuk menunggu kelahiran adik bungsu Hermawan. Tekanan psikologis yang dialami oleh Hermawan bukanlah akhir dari penderitaan yang dialaminya selama dua malam ia tinggal di pengungsian ia tidak bisa tidur karena ia kehilangan keluarganya.(Kompas, 5 September 2009).
Penderitaan korban gempa tidaklah berhenti sampai disini, mereka harus menghadapi serba keterbatasan dalam pengungsian. Mulai dari tempat tidur yang hanya beralaskan tikar sampai makanan yang serba terbatas, termasuk pelayanan kesehatan yang kurang bisa melayani para korban dengan maksimal karena banyaknya pasien, terbatasnya peralatan medis, tenaga ahli dan relawan.
Walaupun bantuan dari berbagai pihak terus berdatangan baik dalam bentuk materil dan non materil tetapi untuk memulihkan kehidupan dan keadaan psikologis para korban gempa akan sangat sulit karena mereka mengalami traumatis yang mendalam dan juga kehilangan harta benda dan keluarga mereka. Dibutuhkan lebih dari sekedar bantuan materil dan non materil untuk memulihkan keadaan mereka seperti semula. Mereka membutuhkan bantuan dari para ahli jiwa (psikolog) untuk mengembalikan keadaan psikologis mereka terutama untuk anak-anak, karena pada masa ini anak-anak lebih mudah menerima segala hal yang terjadi pada dirinya sehingga jika anak-anak mengalami trauma yang berkepanjangan, hal ini akan terbawa terus sampai mereka dewasa dan akan mengganggu pertumbuhan.
Dengan adanya bencana gempa, ini menimbulkan dampak psikologis pada korban-korban gempa tersebut, terutama pada anak-anak yang kehilangan orang tuanya karena diusia mereka yang masih belia mereka sudah harus menerima kenyataan untuk kehilangan orang-orang terdekat mereka, padahal di usia mereka saat ini mereka sedang membutuhkan kasih sayang dari orang-orang terdekat mereka. Bayangkan jika anda berada di posisi mereka.
Seperti yang di alami oleh pada Hermawan (15), walaupun ia bisa dikatakan bukan anak-anak lagi tetapi ia juga mengalami dampak psikologis dari gempa. Karena ia kehilangan seluruh anggota keluarganya, dia kehilangan ibu, nenek, tiga adiknya, dan tiga keponakannya. Mereka tertimbun longsoran dari bukit di belakang rumahya. Padahal Hermawan dan keluarganya baru saja bisa merasakan kembali kebersamaan sebuah keluarga karena sebelumnya kedua orang tua Hermawan pergi ke Jakarta untuk menunggu kelahiran adik bungsu Hermawan. Tekanan psikologis yang dialami oleh Hermawan bukanlah akhir dari penderitaan yang dialaminya selama dua malam ia tinggal di pengungsian ia tidak bisa tidur karena ia kehilangan keluarganya.(Kompas, 5 September 2009).
Penderitaan korban gempa tidaklah berhenti sampai disini, mereka harus menghadapi serba keterbatasan dalam pengungsian. Mulai dari tempat tidur yang hanya beralaskan tikar sampai makanan yang serba terbatas, termasuk pelayanan kesehatan yang kurang bisa melayani para korban dengan maksimal karena banyaknya pasien, terbatasnya peralatan medis, tenaga ahli dan relawan.
Walaupun bantuan dari berbagai pihak terus berdatangan baik dalam bentuk materil dan non materil tetapi untuk memulihkan kehidupan dan keadaan psikologis para korban gempa akan sangat sulit karena mereka mengalami traumatis yang mendalam dan juga kehilangan harta benda dan keluarga mereka. Dibutuhkan lebih dari sekedar bantuan materil dan non materil untuk memulihkan keadaan mereka seperti semula. Mereka membutuhkan bantuan dari para ahli jiwa (psikolog) untuk mengembalikan keadaan psikologis mereka terutama untuk anak-anak, karena pada masa ini anak-anak lebih mudah menerima segala hal yang terjadi pada dirinya sehingga jika anak-anak mengalami trauma yang berkepanjangan, hal ini akan terbawa terus sampai mereka dewasa dan akan mengganggu pertumbuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar